Pohon Ek dan Kesuksesan

Photo Courtesy: From this Website

Dengan nada hiperbolis (dan sedikit memelas), seorang (bakal calon) penyanyi di suatu kontes pencarian bakat menyanyi di salah satu stasiun televisi ibukota mengatakan bahwa sudah tiga tahun ini ia malang melintang tak kenal lelah manggung dari satu kafe ke kafe lainnya.

“Saya sedikit demi sedikit mencoba meraih kesuksesan. Saya berjuang dengan darah (?), airmata dan kekuatan saya sendiri, mencoba merintis sukses dari nol. Saya layak untuk melanjutkan perjuangan saya di babak berikutnya”.

Karena style menyanyi dan penguasaan panggungnya bisa dibilang bagus, para juri pun memberikan kesempatan. Si peserta lolos ke babak berikutnya.

Masih ada kaitannya dengan kejadian diatas. Para ahli biologi seringkali membicarakan tentang “ekologi” sebuah organisme. Contohnya, pohon Ek tertinggi di hutan menjadi pohon yang tertinggi bukan karena ia tumbuh dari biji pohon yang paling gigih; ia menjadi pohon tertinggi karena tidak ada pepohonan lain yang menghalangi sinar sang surya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum ia tumbuh dewasa.

Kita semua tahu bahwa orang yang sukses berasal dari bibit yang bagus. Tetapi, apakah kita cukup tahu banyak tentang sinar matahari yang menghangatkan mereka? Tanah yang menjadi tempat tinggal akar-akarnya? Juga para kelinci serta tukang kayu yang bisa mereka hindari?

Orang-orang tidak bangkit dari nol. Kita semua berutang sesuatu kepada orangtua dan dukungan orang lain. Orang-orang yang berani menantang raja mungkin akan terlihat seakan-akan mereka melakukan semua itu sendirian. Tetapi, sebenarnya mereka, tanpa kecuali, adalah penerima berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa dan warisan kebudayaan yang membuat mereka bisa belajar dan bekerja keras serta menghadapi dunia ini dalam cara yang tidak bisa dilakukan orang lain.

Tempat dan kapan kita tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar. Kebudayaan tempat kita besar dan warisan yang diturunkan oleh para pendahulu kita membentuk berbagai pola keberhasilan kita dalam cara yang tidak kita bayangkan sebelumnya.

Dengan kata lain, tidak cukup untuk menanyakan seperti apa orang-orang yang sukses itu. Namun, dengan menanyakan asal-usul mereka, kita bisa mengungkapkan logika di belakang orang-orang yang meraih kesuksesan dan kegagalan.

Insight ini didapat setelah berdiri 2 jam di sebuah toko buku, bolak-balik ngapalin beberapa paragraf diatas untuk kemudian ditulis ulang di postingan kali ini.

Masih dari pengarang yang sama namun buku yang berbeda. Enjoy. Komentar-komentar dearest readers sekalian bisa membantu menyembuhkan sakit punggung saya. Thank You 😀

12 comments on “Pohon Ek dan Kesuksesan

  1. asik nih sudah mengulas outlier.
    yeah, mungkin apa yg dikatakan malcolm gladwell tentang kesuksesan ada benarnya. But, but, but, I don’t like his ideas he..he. Klo terlalu dipercaya, bisa sedikit memadamkan semangat hi..hi. :). aku masih suka dengan ide passion + curious + hard work.

    Tapi baca bukunya menyenangkan juga karena menambah wawasan dan perspektif. Dan emang keahliannya mengulas hal-hal kecil menjadi sesuatu yang signifikan. Ada review di amazon yg mengatakan kalaupun malcolm menulis buku “Green: It’s the color of grass” akan jadi menarik. 🙂

  2. iya kita harusnya juga menghargai orang di balik layar yang sering dilupakan dan tak dikaitkan ama orang berhasil sukses. jadi ntar kalo sukses, jangan lupa ama aku ya^^.

  3. @ajooy
    ha3. memang kadang kita harus kekeuh struggle sndiri bro, tapi terkadang juga ada banyak invisible hands yang ngasi kita inspirasi & dorongan. langsung ato ngga langsung. kecil ato besar.

    masak padam? malah bnyk bikin aq tau soal latar belakang budaya & leluhurku. ini ngejawab pertanyaan kenapa orang bali suka seni. kenapa orang batak pinter nyanyi. knp orang tionghoa pinter dagang. dan kenapa-kenapa yg laen. klo kita kenali sifat positif background kita, rasanya bnyk yg bisa diserap.

  4. @alice in wonderland

    “kita harusnya juga menghargai orang di balik layar yang sering dilupakan

    he3. pngalaman ku pas jadi seksi perlengkapan acara dulu nih. paling krusial perannya tapi sering disalahin & kadang dilupakan. 😀

    ngga bakal lupa kok ama alice & rabbit holenya 😀

  5. he..he oke bro. Tetap positif ya.

    Kebetulan aku buka-buka bukunya lagi ada cerita tentang kecerdasan praktis. Ini mungkin yg menjawab pertanyaanku juga kenapa temanku dulu waktu kuliah ketika menghadap dosen, ujung-ujungnya selalu berhasil. Kemudian giliranku, jadi kacau he..he :). aku bertanya-tanya kenapa ya, padahal aku dan dia pemahamannya sama. Ini dugaanku karena masalah komunikasi. Temanku mungkin mengatakannya dengan cara yg tepat, waktu yg tepat, all is perfect. Dan itu mungkin masalahku. Sampai sekarang …. That’s way I am afraid/hate/don’t enjoy to talk to lecturer he..he 🙂

  6. @ajooy
    haha. nah aq juga ngrasa gitu ji. Klo aq yang pegang giliran, ga semulus klo temen2ku yg nghandle. aq lupa di outlier atau di tipping point, jawabannya ada di kasusnya oppenheimer itu.

    kalo ga salah bab “permasalahan dengan orang jenius” 😀

  7. Wah, makasih udah bagi2 insight yg sedemian bagus.. Iya, kita mesti sering lupa bahwa lingkungan dan orang-orang di sekitar kita juga punya andil dalam membentuk siapa kita sekarang..

    • kembali kasih, Herfina. memang diri kita yang sekarang ini ngga lepas dari campur tangan dan sentuhan orang2 (orang dekat ataupun idola/panutan).
      udah baca Outliersnya Gladwell? recommended bgt ^_^)

      btw hei, masih settle di jepang ya sekarang? lagi musim apa disana?
      wow impianku bgt tuh klo bisa ke jepang
      kapan ya… (^^)

  8. Simple, Tabularasa Theory .. lingkungan membentuk individu. 50% krn genetik dan 50% krn lingkungan. Ak lbh suka berdamai di harga tersebut, hehe .. n_n

Leave a reply to gemabuluk Cancel reply